Kisah Abu Nawas Jadi Pawang Hujan
Abu Nawas adalah seorang penyair Islam termasyhur di era kejayaan Islam. Orang Indonesia begitu akrab dengan sosok Abu Nuwas lewat cerita-cerita humor bijak dan sufi. Sejatinya, penyair yang bernama lengkap Abu Nuwas al-Hasan bin Hini al-Hakami itu memang seorang humoris yang lihai dan cerdik dalam mengemas kritik berbungkus humor.
Dalam kisah Abu Nawas, ia telah melakukan suatu kesalahan yang membuat Baginda Raja sangat murka kepadanya.
Baginda Raja memerintahkan beberapa prajurit istana untuk secepatnya menangkap Abu Nawas. Sementara Abu Nawas yang sedang berada di rumah memberitahukan kepada istrinya.
"Wahai istriku sepertinya aku harus meninggalkan kampung halaman untuk beberapa waktu," ucap Abu Nawas kepada istrinya.
"Ada masalah apalagi wahai suamiku?kenapa engkau terlihat ketakutan?," tanya sang istri yang sangat khawatir.
"Aku telah membuat kesalahan yang membuat Baginda Raja murka. Saya yakin tidak lama lagi Pasukan istana akan datang kemari untuk menangkapku," balas Abu Nawas.
Kemudian Abu Nawas mengemas bajunya ke dalam tas dan segera pergi meninggalkan rumah. Ternyata dugaan Abu Nawas benar selepas kepergiannya beberapa prajurit istana datang menggeledah rumah Abu Nawas.
"Mana Abu Nawas?," tanya salah satu prajurit kepada istri Abu Nawas.
"Dia sudah pergi meninggalkan kampung ini," jawab sang istri.
Para prajurit pun langsung balik ke istana menghadap Baginda Raja.
"Mana Abu Nawas?," tanya Baginda Raja.
"Ampun Paduka yang mulia, Abu Nawas sudah tidak ada di rumahnya kata istrinya. Dia sudah meninggalkan kampung ini," jawab salah satu prajurit.
"Kurang ajar! Dia coba menghindari hukuman," pikir Baginda Raja.
Sementara Abu Nawas mulai mengembara dan berpindah-pindah tempat dari kampung satu ke kampung yang lain.
Suatu ketika dalam pengembaraannya, Abu Nawas melintasi sebuah Dusun di mana Dusun tersebut sedang dilanda musim kemarau. Abu Nawas yang mengenakan jubah dan sorban layaknya ulama besar sempat membuat perhatian warga, mereka mengira Allah telah mengirimkan seorang waliyullah untuk menolong dusunnya yang sedang mengalami musim kemarau.
Para warga pun segera mengerumuni Abu Nawas.
"Assalamualaikum Syekh, sudilah kiranya Tuan Syekh mampir sebentar di rumah kami," minta kepala dusun.
Abu Nawas pun sudah menolaknya, namun karena para warga memaksa Ia pun mau tidak mau menerima ajakan mereka di rumah kepala dusun.
Abu Nawas dijamu berbagai macam hidangan dan ia juga diperlakukan istimewa layaknya raja.
"Apa yang membuat kalian memperlakukan saya sedemikian istimewa padahal kalian tidak mengenal saya?," tanya Abu Nawas.
"Begini Tuan Syekh, dari penampilan Tuan Kami yakin kalau Tuan adalah ulama besar yang dikirim oleh Allah untuk membantu Desa kami," tutur kepala dusun.
"Memangnya apa yang menimpa Desa kalian?," tanya Abu Nawas
"Sudah berbulan-bulan Desa kami mengalami musim kemarau, tanaman-tanaman sudah pada mati, air persediaan kami tinggal beberapa ember saja. Doakanlah Desa kami wahai Tuan Syeh agar Desa kami diturunkan hujan," ucap Kepasa Dusun.
Abu Nawas terdiam mendengar keluhan mereka. Ia juga berbulan-bulan tidak mandi dan bajunya sudah lama tidak dicuci, padahal tujuannya ke sini untuk menumpang mandi.
Berapa lama muncullah ide cemerlang di otaknya.
"Baiklah saya akan memanjatkan doa kepada Allah supaya Desa kalian diturunkan hujan tapi ada syaratnya," ujar Abu Nawas
"Apa itu syaratnya Tuan Syekh? kami bersedia melakukannya," balas kepala dusun
"Syaratnya adalah kumpulkan semua air persediaan kalian dan taruh di tengah lapangan," perintah Abu Nawas
Para warga pun maka membawa air terakhir yang mereka miliki, total air yang terkumpul Hanya dua ember saja. Kemudian air tersebut ditaruh di tengah lapangan.
Abu Nawas melepas bajunya dan mencucinya dengan Air di ember pertama sedangkan Air di ember kedua ia gunakan untuk mandi melihat hal itu para warga pun menjadi terkejut.
"Wahai Tuan Syekh, itu air terakhir persediaan kami yang rencananya untuk minum anak-anak kami," ucap salah satu warga.
Perbuatan Abu Nawas ini Tentunya mengundang reaksi kemarahan warga ada yang mencemooh, ada yang membentak, Ada pula yang menghujat namun di tengah kegaduhan itu Abu Nawas dengan tenang mengangkat bajunya yang dicuci lalu menjemurnya karena perkataan mereka tidak dihiraukan.
Para warga bertambah emosi sehingga mereka hendak memukulinya tapi niat mereka Langsung terhenti karena tiba-tiba terdengar suara guntur yang disusul hujan lebat penduduk pun lupa akan marahnya.
Bahkan sebaliknya mereka berebutan mencium tangan Abu Nawas dan mulai berteriak kegirangan menyambut datangnya hujan yang sudah lama mereka tunggu.
Saat itu sang kepala dusun menghampiri Abu Nawas.
"Tuan Syekh sebenarnya Doa apa yang Tuhan panjatkan sehingga langit berkenan menurunkan hujan," tanya kepala dusun.
Dengan polosnya Abu Nawas menjawab "Begini, doaku biasa saja tapi jubahku ini tinggal satu dan tidak pernah dicuci selama berbulan-bulan bila aku menjemurnya pasti Hujan akan turun deras, mungkin karena langit tidak tahan dengan bau jubahku," celetuk Abu Nawas.
Mendengar hal itu sontak para warga langsung tertawa terpingkal-pingkal. Sejak saat itu Abu Nawas mulai menetap di sana sembari menunggu kemarahan Baginda Raja mereda.
Komentar